SenjaBiru Kebunkita
Kamis, 22 November 2012
Cinta itu Tak Perlu Seseorang Yang Sempurna
cinta itu bukan suatu hal yang membebani anda.. cinta adalah rasa yang tidak meminta balasan.. dan cinta adalah sebuah rasa, rasa dimana seseorang ingin membahagiakan orang yang dia cintai dan membahagiakan diri anda sendiri saat bersamanya.. Kadang anda tidak puas dengan pasangan anda mungkin setelah bertahun lamanya anda baru tersadar jika pasangan anda bukan orang yang cocok untuk anda, karena ketidakpuasan itu timbul lah sebuah rasa yang lain, rasa yang tiba-tiba timbul kepada orang yang lain dan oranglain itu memiliki sesuatu yang tidak di miliki oleh pasangan anda, istilah kerennya anda "Membagi Cinta".....
Trikotomi Masyarakat Jawa dan Identitas Priyayi
TRIKOTOMI MASYARAKAT JAWA DAN
IDENTITAS PRIYAYI
DALAM
By : Witma Supriyajana
Clifford Geertz, di dalam buku Religion of Java, membagi masyarakat
Jawa menjadi tiga kelas kelas pertama adalah kelas priyayi, Kelas yang
berada di tengah adalah kelas santri,
sedangkan kelas paling bawah disebut kelas abangan.
Menurut Umar Kayam, masyarakat Jawa
merupakan sebuah hasil peradaban yang sangat kompleks, di mana pembagian yang
sangat kaku, seperti pada sistem kasta, tidak dapat menjelaskan identitas
masyarakat Jawa secara akurat. Memang, sistem trikotomi yang sangat kaku
tersebut sungguh ada, tetapi dalam beberapa kasus, sistem tersebut dapat
menjadi fleksibel. Kelompok
sosial yang terpisah satu sama lain nampaknya tidak memungkinkan untuk menjalin
hubungan yang erat antar status. Para priyayi di satu sisi selalu dianggap sebagai penguasa, sedangkan abangan
atau wong cilik hanya
menjadi pekerja kasar. Hal tersebut memperlebar jarak dan juga
memberikan batas antara kedua kaum tersebut. Umar Kayam dalam novel Para Priyayi justru memutar balikkan situasi tersebut menjadi suatu
hubungan timbal balik antara kaum priyayi dan wong cilik dan mendobrak pembatas antar mereka. Priyayi tidak lagi
digambarkan sebagai kaum yang individualistis tetapi bersimpati pada wong cilik.
Umar Kayam di dalam Para Priyayi, menggambarkan kelas-kelas tersebut bukan sebagai
suatu hal yang mengikat, bahkan batasan-batasan yang terdapat di antara ketiga
kelas sosial tersebut digambarkan sebagai sesuatu yang bersifat kabur. Karakter
Sastrodarsono diceritakan mempunyai latar belakang seorang petani, seorang abangan. Kakeknya, ayahnya, dan
saudara-saudaranya hanyalah petani-petani kecil. Sastrodarsono sendiri menjadi
priyayi setelah ia menamatkan pendidikannya, dan menjadi guru bantu di sebuah
kota kecil. Ia bukanlah keturunan priyayi, dan ia belum memiliki prestasi
apapun untuk mendapatkan gelar priyayi, tetapi ia sudah dianggap sebagai
seorang priyayi.
Pemikiran untuk membangun kaum wong cilik dalam diri
Sastrodarsono didasari oleh tokoh
Mas Martoatmodjo yang beranggapan bahwa priyayi seharusnya memajukan masyarakat, “bukan priyayi yang di kemudian hari kepingin jadi raja kecil yang
sewenang-wenang terhadap wong cilik.”
Mas Martoatmodjo selalu mengikuti perkembangan gerakan priyayi dengan membaca
Medan Priyayi, mingguan yang memuat artikel-artikel perlawanan terhadap
kolonialisme, seperti Multatuli, dan kritikan bagi pejabat yang korup. Banyak
priyayi yang tidak berani mengikuti jejak Mas Martoatmodjo karena takut
kehilangan status dan kemapanan
.“Mereka
takut dengan bacaan seperti ini. Mereka takut kehilangan pekerjaan mereka”(hal
57). Kemunculan pemikiran ini adalah suatu bentuk
reformasi idealisme priyayi yang terkesan pasif dan individualities
menjadi dinamis.
Lantip adalah gambaran Umar Kayam akan priyayi
sejati. Lantip menggambarkan seorang priyayi sebagai seorang yang memiliki
semangat “pengabdian kepada masyarakat
banyak, terutama kepada wong cilik, tanpa pamrih kecuali berhasilnya pengabdian
itu sendiri” dan “warna semangat kerakyatan”(hal 306). Pentingnya
intelektualitas
semakin disadari oleh kaum wong cilik
karena dengannya mereka mendapat kesempatan untuk menjadi priyayi,
dengan bantuan kaum priyayi. “Jangan hanya puas jadi petani, Le. Kalian
harus menjadi priyayi.”(hal
30) Status priyayi berarti
kehormatan, pangkat dan kemapanan hidup secara ekonomi. Menjadi priyayi adalah
impian hidup keluarga Atmokasan, namun untuk mencapai tujuan itu
pendidikan menjadi modal dasar. “Kalian harus sekolah”(hal 30). Dengan memiliki pendidikan mereka akan diperhatikan oleh pemerintah dan dapat menduduki suatu jabatan. Ndoro Seten berperan dalam proses ini sebagai pembuka jalan, Sastrodarsono “… dicarikan jalan lewat Ndoro Wedono dan para Priyagung di Madiun untuk dapat diterima magang menjadi guru
bantu.”(hal 31) Sastrodarsono melakukan proses yang sama dengan
mengangkat Lantip untuk menjadi priyayi .
Tokoh Lantip sendiri cukup sulit untuk
dikategorikan ke dalam kelas-kelas dalam trikotomi masyarakat Jawa. Ia memiliki
pengertian yang sangat baik akan kehidupan priyayi, dan ia bersikap bagaikan
seorang priyayi. Apalagi, ia juga berpendidikan. Tetapi, ia bukanlah keturunan
priyayi, malahan ia adalah anak haram dari kaum abangan Umar Kayam berpikiran
bahwa hal etiket bahasa yang sangat mengikat dan kaku seperti itu tidaklah
sepenuhnya benar. Sekali lagi, terdapat beberapa pengecualian. Lewat karakter
ayah Sastrodarsono, Umar Kayam kembali memberikan tambahan pada teori Geertz.
Ayah Sastrodarsono, yang hanya seorang petani desa, dapat berbahasa menggunakan
dialek krama inggil, dialek para
priyayi dan kaum intelek. Ia menggunakan krama
inggil saat berbicara dengan Ndoro
Seten. Hal yang sebaliknya terjadi pada Sastrodarsono, yang diceritakan sering
meluapkan emosinya ketika kalah di meja kesukan.
“Bedes, monyet, goblok anak kecu,
gerombolan maling……”(hal10) umpatnya. Ini bukanlah hal yang pantas
dilakukan oleh seorang priyayi, tetapi di sini Umar Kayam menekankan bahwa
priyayi, seperti halnya kaum santri dan abangan, jugalah manusia. Di dalam Para Priyayi, para priyayi merupakan
orang-orang yang mendukung dan memperjuangkan hak-hak wong cilik, orang-orang dari kelas bawah. Hal ini pertama kali
ditunjukkan oleh Ndoro Seten, yang
membantu Sastrodarsono dalam meraih impiannya menjadi seorang priyayi. Ndoro
Seten juga mengatakan bahwa dirinya ingin “..membangun barisan priyayi maju, bukan priyayi yang di kemudian hari
kepingin jadi raja kecil yang sewenang-wenang terhadap wong cilik”(hal 63). Sastrodarsono pun terlihat mendukung hal ini
dengan membangun sebuah sekolah kecil di Wanalawas, sekolah yang diperuntukkan
bagi wong cilik. Harimurti, anak
Hardojo, juga bergabung dengan Lekra, sebuah organisasi berideologi komunis,
dengan tujuan memperjuangkan hak-hak wong
cilik. Bahkan, Lantip, di dalam pidatonya mengajak hadirinnya untuk “menanam semangat priyayi sebagai semangat pengabdian
kepada masyarakat wong cilik”(hal
306) Konflik dengan para santri pun dilengkapi oleh Umar Kayam
dengan menciptakan tokoh Sri dan Darmin. Mereka adalah keponakan Sastrodarsono
yang datang dari kaum santri. Bila
memang terdapat konflik ideologi yang sangat intens di antara para priyayi dan para santri, tampaknya tidak mungkin Sri dan Darmin dititipkan pada
sebuah keluarga priyayi.
Salah satu hal yang membedakan para
priyayi dari orang biasa adalah etika. Etika memberi para priyayi aturan dalam
bertingkah. Melalui ketentuan-ketentuan tersebut, sang priyayi diharapkan dapat
bertingkah laku lepas dari emosinya. Meski terkesan kaku, namun kesopan-santunan mereka datang dari roso, rasa. Etika sopan santun priyayi
dalam bertutur dapat dirangkum menjadi empat prinsip utama. Pertama, bahasa dan
tingkah laku harus sesuai dengan kelas mereka. Saat dua priyayi, walaupun belum
saling kenal, bertemu, mereka harusmenggunakan bahasa Jawa alus, dan harus saling merendahkan diri. Cara berpakaianpun harus
sesuai. Kedua, dalam penyampaian pesan,
hendaknya didahului dengan basa basi. Saat hendak menyampaikan pesan yang
negatif, para priyayi pada umumnya menggunakan perumpamaan sehingga lawan
bicara dapat menangkap inti pesannya tanpa harus merasa tersinggung. Prinsip
ketiga dikenal oleh orang Jawa sebagai étok-étok,
yaitu sikap berpura-pura. Hal tersebut biasa digunakan priyayi dalam situasi di
mana mereka menyembunyikan keinginan pribadi mereka demi keinginan orang lain.
Prinsip yang keempat adalah mereka harus dapat mengendalikan emosi dalam
bertingkah laku.
Para Priyayi sangat memperhatikan etika
dalam berbahasa. Bahasa Jawa sendiri dapat dibagi menjadi tiga tingkatan dasar,
yaitu krama, madya, dan ngoko..
Kelas sosial menentukan gaya bahasa
dan dialek. Status juga
sangat mempengaruhi pemilihan dialek dalam sebuah percakapan. Sebagai contoh
dalam novel para priyayi, saat
seorang juragan berbicara
dengan kusirnya, dialek yang
digunakan adalah ngoko biasa“Aja
ngantuk, lho!”(hal 207) ,
sedangkan kusirnya tersebut
akan berbicara dengan menggunakan karma inggil,”Mboten,kok,Ndoro,”(hal 207).
Novel Para Priyayi yang dikarang
oleh Umar Kayam di New Haven pada tahun 1991, selain sebagai sebuah karya
sastra, juga berperan sebagai sebuah “ensiklopedi” yang menyoroti kehidupan
kaum birokrat atau aristokrat Jawa, para priyayi. “(Novel) Para Priyayi adalah ‘jihad intelektual’ Umar Kayam tentang seseorang dalam
menjalani fungsi kemanusiaannya, yang mula-mula adalah (seorang) Jawa.” Melalui novel ini Umar Kayam
sebagai penulis ingin menyampaikan idealismenya mengenai kepriyayian, karena selama ini
stereotip priyayi
selalu erat dengan orang-orang birokrat yang menggunakan statusnya untuk
menguasai orang lain, berjiwa anti-sosial dan arogan.
Daftar Pustaka
Kayam,
Umar. Para Priyayi: Sebuah Novel. Jakarta : Pustaka Utama
Grafiti, 1992.
Http//Geertz,
Clifford. The Religion of Java. yang
diakses pada 25 Oktober 2010.
Dongeng sastra anak
Sang Putri dan Pengemis
By : Witma Supriyajana
Tersebutlah seorang putri raja yang
cantik jelita. Karena
bergelimang harta, Sang Putri mempunyai sifat buruk. Ia selalu
menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak perlu.
Sedangkan Sang Raja tak pernah menolak kemauan putrinya.
Salah satu kegemaran Sang Putri adalah mengumpulkan
perhiasan dari intan permata. Ia sudah memiliki berlaci-laci
perhiasan dari berbagai negeri.
Suatu saat Raja mengajak Sang Putri berkeliling kota. Setelah singgah di berbagai
tempat, mereka berhenti di depan bangunan indah. Di depan bangunan itu terdapat air
mancur. Sang Putri sangat terpesona dengan air mancur yang elok itu. Air mancur itu
memancarkan butir-butir air yang sangat indah. Karena terkena sinar matahari, butiranbutir
air itu memancarkan cahaya kemilau bak intan permata. Sang Putri semakin
terpesona.
Sepulang dari perjalanan, Sang Putri minta dibuatkan air mancur di depan istana. Raja
mengabulkan permintaan itu. Maka berdirilah air mancur nan megah seperti keinginan
Sang Putri. Bukan main gembiranya Sang Putri. Tiap hari ia memandangi air mancur itu.
Suatu hari ketika Sang Putri duduk di
bergelimang harta, Sang Putri mempunyai sifat buruk. Ia selalu
menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak perlu.
Sedangkan Sang Raja tak pernah menolak kemauan putrinya.
Salah satu kegemaran Sang Putri adalah mengumpulkan
perhiasan dari intan permata. Ia sudah memiliki berlaci-laci
perhiasan dari berbagai negeri.
Suatu saat Raja mengajak Sang Putri berkeliling kota. Setelah singgah di berbagai
tempat, mereka berhenti di depan bangunan indah. Di depan bangunan itu terdapat air
mancur. Sang Putri sangat terpesona dengan air mancur yang elok itu. Air mancur itu
memancarkan butir-butir air yang sangat indah. Karena terkena sinar matahari, butiranbutir
air itu memancarkan cahaya kemilau bak intan permata. Sang Putri semakin
terpesona.
Sepulang dari perjalanan, Sang Putri minta dibuatkan air mancur di depan istana. Raja
mengabulkan permintaan itu. Maka berdirilah air mancur nan megah seperti keinginan
Sang Putri. Bukan main gembiranya Sang Putri. Tiap hari ia memandangi air mancur itu.
Suatu hari ketika Sang Putri duduk di
pinggir air mancur itu, jari
manisnya kejatuhan air
mancur. Butiran air itu menjalar melingkari jari manis Sang Putri laksana cincin. Begitu
tersinari matahari, lingkaran air itu memancarkan cahaya bak cincin permata. Sang Putri
berdecak kagum. Ia berlari menemui Sang Raja.
"Ayahanda, saya ingin dibuatkan cincin permata dari butiran air," pinta Sang Putri.
Raja tak kuasa menolak keinginan putrinya. Segera Sang Raja memerintahkan abdi
kerajaan mencari ahli permata.
Datanglah seorang ahli permata. Raja lalu menceritakan keinginan putrinya. Sang ahli
permata mendengarkan dengan seksama.
"Ampun, Baginda. Hamba baru kali ini mendapatkan permintaan seperti itu. Hamba minta
waktu untuk memikirkannya," kata ahli permata. Ia tampak kebingungan.
"Kalau begitu, kuberi waktu dua hari. Tapi, kalau gagal, penjara telah menantimu!" tukas
Sang Raja.
Dua hari kemudian, ahli permata itu datang untuk memberitahu bahwa ia tak dapat
memenuhi permintaan Sang Putri. Sesuai perjanjian, ahli permata itu dijebloskan ke
penjara. Kemudian Sang Raja memerintahkan mencari ahli permata lain. Tapi, beberapa
ahli permata yang datang ke istana mengalami nasib serupa dengan ahli permata pertama.
Raja sudah putus asa. Ia tak tahu harus berbuat apa lagi demi putri kesayangannya.
Sementara itu, Sang Putri terus menuntut agar permintaannya dikabulkan. Tiba-tiba
seorang pengemis tua terbungkuk-bungkuk mendatangi istana.
"Kamu ahli permata?" sergah Sang Raja.
"Bukan, Baginda. Hamba hanya seorang pengemis. Tapi, mengapa Baginda menanyakan ahli
permata?" Si Pengemis balik bertanya.
Lalu Sang Raja bercerita tentang keinginan putrinya.
"Izinkan hamba mencobanya, Baginda," ujar Si Pengemis kemudian.
"Awas, kalau gagal, penjara tempatmu!" ancam Sang Raja.
Si Pengemis kemudian memanggil Sang Putri.
"Tuan Putri, tolong bawa butiran air itu kemari!" pinta Si Pengemis kepada Sang Putri
mancur. Butiran air itu menjalar melingkari jari manis Sang Putri laksana cincin. Begitu
tersinari matahari, lingkaran air itu memancarkan cahaya bak cincin permata. Sang Putri
berdecak kagum. Ia berlari menemui Sang Raja.
"Ayahanda, saya ingin dibuatkan cincin permata dari butiran air," pinta Sang Putri.
Raja tak kuasa menolak keinginan putrinya. Segera Sang Raja memerintahkan abdi
kerajaan mencari ahli permata.
Datanglah seorang ahli permata. Raja lalu menceritakan keinginan putrinya. Sang ahli
permata mendengarkan dengan seksama.
"Ampun, Baginda. Hamba baru kali ini mendapatkan permintaan seperti itu. Hamba minta
waktu untuk memikirkannya," kata ahli permata. Ia tampak kebingungan.
"Kalau begitu, kuberi waktu dua hari. Tapi, kalau gagal, penjara telah menantimu!" tukas
Sang Raja.
Dua hari kemudian, ahli permata itu datang untuk memberitahu bahwa ia tak dapat
memenuhi permintaan Sang Putri. Sesuai perjanjian, ahli permata itu dijebloskan ke
penjara. Kemudian Sang Raja memerintahkan mencari ahli permata lain. Tapi, beberapa
ahli permata yang datang ke istana mengalami nasib serupa dengan ahli permata pertama.
Raja sudah putus asa. Ia tak tahu harus berbuat apa lagi demi putri kesayangannya.
Sementara itu, Sang Putri terus menuntut agar permintaannya dikabulkan. Tiba-tiba
seorang pengemis tua terbungkuk-bungkuk mendatangi istana.
"Kamu ahli permata?" sergah Sang Raja.
"Bukan, Baginda. Hamba hanya seorang pengemis. Tapi, mengapa Baginda menanyakan ahli
permata?" Si Pengemis balik bertanya.
Lalu Sang Raja bercerita tentang keinginan putrinya.
"Izinkan hamba mencobanya, Baginda," ujar Si Pengemis kemudian.
"Awas, kalau gagal, penjara tempatmu!" ancam Sang Raja.
Si Pengemis kemudian memanggil Sang Putri.
"Tuan Putri, tolong bawa butiran air itu kemari!" pinta Si Pengemis kepada Sang Putri
seraya menunjuk air mancur di depan
istana.
Sang Putri menuruti saja perintah Si Pengemis karena ia sudah tak sabar memiliki cincin
yang diidamkannya. Begitu berada di sisi air mancur ia menengadahkan tangannya. Sebutir
air jatuh tepat di atas telapak tangannya. Cepat-cepat ia bawa butiran itu ke pengemis.
Tapi, sebelum sampai ke pengemis, butiran air itu menguap habis. Sang Putri
mengulanginya. Kini ia berlari. Namun apa daya, tetap saja ia tak mampu membawa butiran
air. Memang hari itu sedang sangat panas sehingga membuat butiran air cepat menguap.
Dan ini memang siasat Si Pengemis, ia datang pada saat cuaca panas.
"Kalau butiran airnya tidak ada, bagaimana hamba bisa mengabulkan permintaan Sang
Putri?
Saya kira tak seorang pun mampu membuat cincin kalau bahannya tidak ada. Hamba
khawatir Tuan Putri yang cantik dan pintar ini akhirnya mendapat julukan putri bodoh
karena menginginkan sesuatu yang tak ada."
Sesudah berkata demikian, Si Pengemis dengan tenang meninggalkan istana.
Apa yang dikatakan Si Pengemis sangat menyentuh hati Sang Putri. Sang Putri menyadari
kekeliruannya. Lalu ia meminta Raja membebaskan semua ahli permata. Seluruh perhiasan
intan permata yang dimiliki Sang Putri dibagikan kepada ahli permata sebagai ganti rugi.
Sejak saat itu Sang Putri hidup sederhana dan tidak pernah minta yang bukan-bukan.
Sang Putri menuruti saja perintah Si Pengemis karena ia sudah tak sabar memiliki cincin
yang diidamkannya. Begitu berada di sisi air mancur ia menengadahkan tangannya. Sebutir
air jatuh tepat di atas telapak tangannya. Cepat-cepat ia bawa butiran itu ke pengemis.
Tapi, sebelum sampai ke pengemis, butiran air itu menguap habis. Sang Putri
mengulanginya. Kini ia berlari. Namun apa daya, tetap saja ia tak mampu membawa butiran
air. Memang hari itu sedang sangat panas sehingga membuat butiran air cepat menguap.
Dan ini memang siasat Si Pengemis, ia datang pada saat cuaca panas.
"Kalau butiran airnya tidak ada, bagaimana hamba bisa mengabulkan permintaan Sang
Putri?
Saya kira tak seorang pun mampu membuat cincin kalau bahannya tidak ada. Hamba
khawatir Tuan Putri yang cantik dan pintar ini akhirnya mendapat julukan putri bodoh
karena menginginkan sesuatu yang tak ada."
Sesudah berkata demikian, Si Pengemis dengan tenang meninggalkan istana.
Apa yang dikatakan Si Pengemis sangat menyentuh hati Sang Putri. Sang Putri menyadari
kekeliruannya. Lalu ia meminta Raja membebaskan semua ahli permata. Seluruh perhiasan
intan permata yang dimiliki Sang Putri dibagikan kepada ahli permata sebagai ganti rugi.
Sejak saat itu Sang Putri hidup sederhana dan tidak pernah minta yang bukan-bukan.
METRUM,SEJARAH PERKEMBANGAN,DAN WATAK TEMBANG MACAPAT
METRUM, SEJARAH PERKEMBANGAN, DAN WATAK TEMBANG MACAPAT
By : Witma Supriyajana
Metrum
macapat
Dalam khasanah
kesastraan Jawa terdapat puisi tradisional yang disebut macapat.Jenis puisi itu
terikat oleh konvensi yang telah mapan berupa guru gatra,guru wilangan,dan guru
lagu (Padmosoekotjo,1958:18).konvensi macapat yang mencakup tiga unsure itu
yang di maksudkan sebagai metrum.
Nama metrum sama
dengan nama jenis tembangnya yang terdapat dalam beberapa buku teori sastra
jawa
a) Dalam Widyaswara (sastrasuwignya dan
Moelyono,1981:23—25) terdapat delapan tembang tang di golongkan sebagai tembang
macapat yaitu pucung,mijil,durma,kinanthi,asmaradana,pangkur,sinom,dan
dhandhanggula.Tembang lainya yang berjumlah sembilan puluh dua di golongkan ke
dalam tembang tengahan dan tembang gede.
b) Dalam serat purwakara dll.terdapat
sembilan tembang yang di golongkan sebagai tembang macapat. Nama-namanya seperti
pada buta (a) di tambah dengan maskumambang.
c) Dalam purwakanti
(Mangunwidjaja,1992:119) dll.Terdapat sepuluh tembang yang digolongkan sebagai
tembang macapat.Nama-namanya seperti pada butir (a) ditambah dengan
maskumambang dan megatruh atau dudukwuluh
d)Dalam Mbombong manah 1 terdapat sebelas
tembang yang di golongkan sebagai tembang macapat.Nama-namanya seperti pada
butir (a) di tambah dengan maskumambang,gambuh,dan megatruh.Di jelaskan oleh
Tedjohadisumarto(1958:5)bahwa tembang
gambuh dan megatruh semula digolongkan tembang tengahan.
e) Dalam patokaning njekaraken
(Hardjowirogo,1952:9—12,18—19)terdapat lima belas tembang yang digolongkan
sebagai tembang macapat.Nama sembilan tembang pada butir (b) di sebut macapat
baku(sugiyo,1978:10,Arintoko,1981:3),lima buah tembang berupa tembang tengahan
yang terdiri atas balabak,megatruh,gambuh,jurudemung,dan wirangrong,serta
sebuah berupa tembang gede,yaitu gurisa atau girisa.Lima buah tembang tengahan
dan sebuah tembang gede itu di golongkan sebagai tembang macapat
(f) Jumlah yang sama pada butir
(e) Terdapat
dalam tata sastra.Dalam buku itu disebutkan bahwa jumlah tembang macapat ada lima belas termasuk
tembang tengahan yang sudah di golongkan ke dalam tembang macapat.
Penanaman
metrum macapat
Penamaan lima belas metrum macapat
itu di sajikan berikut ini di lengkapi dengan keterangan secukupnya,terutama yang
mengikluti etimologi.
a)
Pangkur berasal dari nama punggawa dalam kalangan
kependetaan. Pangkur diberi arti buntut “ekor”.oleh karena itu pangkur
kadang-kadang di beri sasmita “isyarat” tut pungkur,tut wuntat
”mengekor”,”mengikuti”
b)
Maskumambang berarti punggawa yang melaksanakan upacara
shamanistis ,mengucapkan mantra atau lafal dengan menembang disertai sajian
bunga.
c)
Sinom diberi arti sesekaring rambut “anak rambut” .Sinom juga di artikan “daun
muda” sehingga kadang-kadang di beri isyarat dengan lukisan daun muda.
d)
Asmaradana berasal dari kata asmara
dan dana,Asmara
adalah nama dewa pencintaan;dana dari kata dahana berarti api.
e)
Dhandhanggula di beri arti ngajeng-ngajeng kesaenan
“menanti-nanti kebaikan”
f)
Durma berwatak atau biasa di gunakan dalam suasana seram.
g)
Mijil berarti keluar.Selain itui mijil ada hubunganya
dengan kata wijil yang yang bersinonim dengan kata lawang “pintu”
h)
Kinanthi biasa di gunakan dalam suasana mesra atau
senang.
i)
Gambuh biasa di gunakan dalam suasana mesra atau
senang.
j)
Wirangrong di gunakan dalam suasana berwibawa
k)
Jurudemung berarti “penabuh gamelan” atau “lelingir
kang landhep” sanding yang tajam.
l)
Girisa berarti boten sarwa wegah “tidak serba enggan’
sehingga mempunyai watak selalu ingat.
m)
Pucung cenderung mengacu pada hal-hal yang bersifat
lucu yang menimbulkan kesegaran.biasa di
gunakan dalam suasana santai.
n)
Megatruh dapat berarti petugas yang ahli dalam
kerohanian yang selalu menghindari perbuatan jahat.
o)
Baladak berwatak atau biasa di gunakan dalam suasana
santai.
Aturan metrum macapat
Jenis metrum macapat berjumlah lima
belas.Setiap jenis metrum memiliki aturan tertentu yang di sebut guru
gatra,guru wilangan dan guru lagu
No
|
Nama
metrum/tembang
|
Aturan
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
10
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
|
Asmaradana
Balak
Durma
Dhandanggula
Gambuh
Girisa
Jurudemung
Kinanthi
Maskumambang
Megatruh
Mijil
Pangkur
Pucung
Sinom
Wirangrong
|
8/i
|
8/a
|
8/ĕ/o
|
8/a
|
7/a
|
8/u
|
8/a
|
|||
12/a
|
3/ĕ
|
12/a
|
3/e
|
12/a
|
3/e
|
||||||
12/a
|
7/i
|
6/a
|
7/a
|
8/i
|
5/a
|
7/i
|
|||||
10/i
|
10/a
|
8/ĕ
|
7/u
|
9/i
|
7/a
|
6/u
|
8/a
|
12/i
|
7/a
|
||
7/u
|
10/u
|
12/i
|
8/u
|
8/o
|
8/a
|
||||||
8/a
|
8/a
|
8/a
|
8/a
|
8/a
|
8/a
|
8/a
|
|||||
8/a
|
8/u
|
8/u
|
8/a
|
8/u
|
8/i
|
8/u
|
|||||
8/u
|
8/i
|
8/a
|
8/i
|
8/a
|
|||||||
12/i
|
6/a
|
8/a
|
|||||||||
12/u
|
8/i
|
6/i
|
8/i
|
8/o
|
|||||||
12/i
|
6/o
|
10/ĕ
|
10/i
|
6/i
|
6/u
|
||||||
8/a
|
11/i
|
8/u
|
7/a
|
12/u
|
8/a
|
8/a
|
|||||
12/u
|
6/a
|
8/i
|
12/a
|
||||||||
8/a
|
8/i
|
8/a
|
8/i
|
7/i
|
8/u
|
7/a
|
8/i
|
12/a
|
|||
8/i
|
8/o
|
10/u
|
6/i
|
7/a
|
7/a
|
7/a
|
Langganan:
Postingan (Atom)