Perspektif Gender Proses Eksploitasi Perempuan Dalam Perikalanan
By : Witma Supriyajana
Sistem nilai, norma,
stereotipe, serta ideologi gender telah lama dilihat sebagai salah satu faktor
yang mempengaruhi posisi serta hubungan perempuan dengan laki-laki, ataupun
dengan lingkungannya dalam konstruksi sosial masyarakat. Nilai
atau norma tentang perempuan dalam masyarakat tumbuh dari konsensus di dalam
masyarakat itu sendiri yang dibawa secara turun temurun, meskipun seiring
dengan perkembangan jaman tata nilai tersebut akan terus berkembang dengan
mengalami dekonstruksi, redefinisi, maupun rekonstruksi dalam proses sosialnya.
Kendatipun demikian, cara pandang tentang perempuan ataupun ideologi gender
tidak dapat dilepaskan dengan nilai kultural yang melingkupi hubungan sosial
masyarakatnya. Hal ini disebabkan adanya prakonsepsi yang telah diterima
sebagai konsensus bersama, legimitasi moral dari kelompok yang dominan,
Periklanan sebagai sebuah sistem komunikasi massa, kini cenderung menjadi
parameter atau implementasi wacana gender yang menggugat adanya bias-bias
ketidakadilan gender (gender innequalities). Periklanan kini dengan agak sinis
dikatakan sebagai sarana legimitasi hegemoni ideologi maupun pelestari dominasi
ideologi patriarkis. Kecenderungan menggunakan periklanan sebagai arena contoh
bentuk subordinasi perempuan memang mudah sekali dimunculkan. Hal ini
disebabkan periklanan sendiri memang merupakan bentuk komunikasi yang sering
memunculkan kode-kode sosial sebagai fragmentasi realitas sosialnya, di mana
kode-kode sosial tersebut tak jarang pula mengadopsi stereotipe,
asosiasi-asosiasi, refleksi kultural, ideologi serta pola gender yang ada di
masyarakat.Akan tetapi akankah periklanan telah menjadi simbol subordinasi
perempuan ? Ataukah para disainer iklan yang dituding sebagai penyebab
munculnya fenomena representasi sosial yang menyiratkan perempuan diposisikan
pada peran yang subordinat ? Tentu ini menjadi tanggung jawab kita bersama sebagai
komunitas masyarakat yang mempunyai etika, norma, serta perilaku sosial, yang mempunyai
ciri budaya ketimuran, yang dapat menata serta mengatur bagaimana konsep gender
yang dapat mengangkat harkat perempuan di Indonesia.Dan dapur sampai elektronik
sering pula dimanifestasikan sebagai komoditi yang dekat dengan wilayah
femininitas. atas daya tarik visualisasi representasi iklan. untuk membuat
komoditi atau produk mempunyai nilai tertentu. `jantan',
`maskulin',`eksklusif', Pemberani telah menjadi idiom yang dimiliki oleh
komoditi seperti rokok,suplemen, parfum, jamu atau obat kuat Perempuan sering
menjadi alternatif pilihan sebagai obyek yang dapat menciptakan daya tarik
serta merefleksikan citra. Bisa dilihat bahwa hanya untuk mengiklankan sebuah
produk elektronik seperti televisi, perempuan pun di-casting dengan kostum yang
agak sensual, atau bahkan ada representasi iklan televisi yang menampakkan
perempuan dengan pakaian serba ketat serta dengan tarian yang erotik
dimunculkan sebagai pendamping produk.
Ada pula iklan permen yang diidentikkan dengan sebuah tarian tango, yang
menampakkan perempuan dengan berbagai pose erotis. Perempuan memang telah
menjadi fenomena komoditas yang tak terelakkan dalam kancah komunikasi iklan.
Perempuan telah menjadi sarana legimitasi daya tarik terhadap aktualisasi nilai
produk. Sebuah produk yang pada kenyataannya mempunyai fungsi yang general,
telah dikomunikasikan tidak lagi bersifat fungsional tetapi sudah bergeser ke
arah konsep gender. Femininitas atau maskulinitas seringkali menjadi ajang
manifestasilelaki, otomotif, dan lain sebagainya. Sedangkan iklan sabun,
shampoo, minyak goreng, bumbu dapur, peralatan rumah tangga cukup mendapatkan
respek dari para perempuan yang menghubungkan kebutuhannya sebagai ibu rumah
tangga, bukan merupakan suatu bentuk eksploitasi tapi merupakan suatu penggambaran
keindahan kodrat perempuan dalam proses visualisasi iklan semata-mata dijadikan
referensi penciptaan citra idealisasi hubungan sosial. Secara general perempuan
memang masih belum bisa dipisahkan dari wilayah domestik, dan bagi sebagian
orang posisi ini masih dianggap sebagai peran yang belum dapat digantikan oleh
jenis kelamin lain. Sehingga perempuan dalam hal ini mengalami marginalisasi
dari arena yang lebih luas yakni wilayah publik. Perempuan cenderung terdomestikasi,
yakni sebagai subyek gender yang mempunyai tanggung jawab serta
peranan besar dalam pengelolaan rumah tangga. Jika hal ini dihadapkan pada
konsep
gender secara universal, memang terdapat ketimpangan peran, di mana
perempuan lebih dipercaya dalam kepengurusan rumah tangga, sedangkan laki-laki
tidak terlalu dituntut untuk ikut mengurusi peran domestik ini. Meskipun
terdapat penanaman ideologi yang dimaksudkan mengangkat citra perempuan seperti
halnya ideologi atau pandangan bahwa perempuan yang mulia dan berbudi luhur
secara kultural adalah perempuan yang berfungsi sebagai istri dan ibu rumah
tangga, pada satu sisi dimaksudkan untuk menyatakan bahwa pengelolaan rumah
tangga merupakan peran yang mulia serta ideal jika difungsikan oleh perempuan,
tetapi di sisi lain perempuan dapat dikatakan mengalami pengucilan (exclusion)
dari wilayah publik, sedangkan laki-laki meskipun tidak terlalu mengurusi
persoalan domestik masih disebut sebagai kepala rumah tangga. Kendatipun
demikian, adanya ideologi familialisme yang mendudukkan perem-puan berfungsi
sebagai istri dan ibu rumah tangga tampaknya tidak beranjak dari pandangan
sebagian besar perempuan pada umumnya. Citra konvensional ini masih menjadi
tata nilai yang cukup kuat diinternalisasi oleh kaum perempuan itu sendiri. Adanya
pergeseran peran bisa jadi malah dianggap akan membawa gesekan atau konflik kepentingan
dalam menjalankan fungsi gender. Sehingga untuk membuka cakrawala bahwa
perempuan hendaknya diakui pula dalam arena
publik mungkin perlu pula dipahami bagaimana eksistensi peran perempuan dari
arena domestik.
Realitas sosial ini pada dasarnya memang telah mengalami
rekonstruksi dan redefinisi dalam melihat keberadaan perempuan dalam fungsi
gendernya. Perempuan secara kuantitas memang sudah berperan dalam arena publik,
akan tetapi pada kenyataannya secara kualitatif masih banyak yang belum
menempatkan diri pada posisi strategis dalam jabatan publik. Secara kualitatif
pula perempuan masih terkonstruksi untuk terus berperan dalam wilayah domestik,
mulai dari fungsi lanjut reproduksi, kepengasuhan anak sampai pengelolaan rumah
tangga, sehingga ini pun dapat dijadikan salah satu faktor mengapa perempuan kurang
diakui untuk menempati posisi penting dalam wilayah publik.
gender secara universal, memang terdapat ketimpangan peran, di mana
perempuan lebih dipercaya dalam kepengurusan rumah tangga, sedangkan laki-laki
tidak terlalu dituntut untuk ikut mengurusi peran domestik ini. Meskipun
terdapat penanaman ideologi yang dimaksudkan mengangkat citra perempuan seperti
halnya ideologi atau pandangan bahwa perempuan yang mulia dan berbudi luhur
secara kultural adalah perempuan yang berfungsi sebagai istri dan ibu rumah
tangga, pada satu sisi dimaksudkan untuk menyatakan bahwa pengelolaan rumah
tangga merupakan peran yang mulia serta ideal jika difungsikan oleh perempuan,
tetapi di sisi lain perempuan dapat dikatakan mengalami pengucilan (exclusion)
dari wilayah publik, sedangkan laki-laki meskipun tidak terlalu mengurusi
persoalan domestik masih disebut sebagai kepala rumah tangga. Kendatipun
demikian, adanya ideologi familialisme yang mendudukkan perem-puan berfungsi
sebagai istri dan ibu rumah tangga tampaknya tidak beranjak dari pandangan
sebagian besar perempuan pada umumnya. Citra konvensional ini masih menjadi
tata nilai yang cukup kuat diinternalisasi oleh kaum perempuan itu sendiri. Adanya
pergeseran peran bisa jadi malah dianggap akan membawa gesekan atau konflik kepentingan
dalam menjalankan fungsi gender. Sehingga untuk membuka cakrawala bahwa
perempuan hendaknya diakui pula dalam arena
publik mungkin perlu pula dipahami bagaimana eksistensi peran perempuan dari
arena domestik.
Realitas sosial ini pada dasarnya memang telah mengalami
rekonstruksi dan redefinisi dalam melihat keberadaan perempuan dalam fungsi
gendernya. Perempuan secara kuantitas memang sudah berperan dalam arena publik,
akan tetapi pada kenyataannya secara kualitatif masih banyak yang belum
menempatkan diri pada posisi strategis dalam jabatan publik. Secara kualitatif
pula perempuan masih terkonstruksi untuk terus berperan dalam wilayah domestik,
mulai dari fungsi lanjut reproduksi, kepengasuhan anak sampai pengelolaan rumah
tangga, sehingga ini pun dapat dijadikan salah satu faktor mengapa perempuan kurang
diakui untuk menempati posisi penting dalam wilayah publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar