Kamis, 22 November 2012

Perspektif Gender Proses Eksploitasi Perempuan Dalam Perikalanan


 

Perspektif Gender Proses Eksploitasi Perempuan Dalam Perikalanan
By : Witma Supriyajana
 
Sistem nilai, norma, stereotipe, serta ideologi gender telah lama dilihat sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi posisi serta hubungan perempuan dengan laki-laki, ataupun dengan lingkungannya dalam konstruksi sosial masyarakat. Nilai atau norma tentang perempuan dalam masyarakat tumbuh dari konsensus di dalam masyarakat itu sendiri yang dibawa secara turun temurun, meskipun seiring dengan perkembangan jaman tata nilai tersebut akan terus berkembang dengan mengalami dekonstruksi, redefinisi, maupun rekonstruksi dalam proses sosialnya. Kendatipun demikian, cara pandang tentang perempuan ataupun ideologi gender tidak dapat dilepaskan dengan nilai kultural yang melingkupi hubungan sosial masyarakatnya. Hal ini disebabkan adanya prakonsepsi yang telah diterima sebagai konsensus bersama, legimitasi moral dari kelompok yang dominan, Periklanan sebagai sebuah sistem komunikasi massa, kini cenderung menjadi parameter atau implementasi wacana gender yang menggugat adanya bias-bias ketidakadilan gender (gender innequalities). Periklanan kini dengan agak sinis dikatakan sebagai sarana legimitasi hegemoni ideologi maupun pelestari dominasi ideologi patriarkis. Kecenderungan menggunakan periklanan sebagai arena contoh bentuk subordinasi perempuan memang mudah sekali dimunculkan. Hal ini disebabkan periklanan sendiri memang merupakan bentuk komunikasi yang sering memunculkan kode-kode sosial sebagai fragmentasi realitas sosialnya, di mana kode-kode sosial tersebut tak jarang pula mengadopsi stereotipe, asosiasi-asosiasi, refleksi kultural, ideologi serta pola gender yang ada di masyarakat.Akan tetapi akankah periklanan telah menjadi simbol subordinasi perempuan ? Ataukah para disainer iklan yang dituding sebagai penyebab munculnya fenomena representasi sosial yang menyiratkan perempuan diposisikan pada peran yang subordinat ? Tentu ini menjadi tanggung jawab kita bersama sebagai komunitas masyarakat yang mempunyai etika, norma, serta perilaku sosial, yang mempunyai ciri budaya ketimuran, yang dapat menata serta mengatur bagaimana konsep gender yang dapat mengangkat harkat perempuan di Indonesia.Dan dapur sampai elektronik sering pula dimanifestasikan sebagai komoditi yang dekat dengan wilayah femininitas. atas daya tarik visualisasi representasi iklan. untuk membuat komoditi atau produk mempunyai nilai tertentu. `jantan', `maskulin',`eksklusif', Pemberani telah menjadi idiom yang dimiliki oleh komoditi seperti rokok,suplemen, parfum, jamu atau obat kuat Perempuan sering menjadi alternatif pilihan sebagai obyek yang dapat menciptakan daya tarik serta merefleksikan citra. Bisa dilihat bahwa hanya untuk mengiklankan sebuah produk elektronik seperti televisi, perempuan pun di-casting dengan kostum yang agak sensual, atau bahkan ada representasi iklan televisi yang menampakkan perempuan dengan pakaian serba ketat serta dengan tarian yang erotik dimunculkan sebagai  pendamping produk. Ada pula iklan permen yang diidentikkan dengan sebuah tarian tango, yang menampakkan perempuan dengan berbagai pose erotis. Perempuan memang telah menjadi fenomena komoditas yang tak terelakkan dalam kancah komunikasi iklan. Perempuan telah menjadi sarana legimitasi daya tarik terhadap aktualisasi nilai produk. Sebuah produk yang pada kenyataannya mempunyai fungsi yang general, telah dikomunikasikan tidak lagi bersifat fungsional tetapi sudah bergeser ke arah konsep gender. Femininitas atau maskulinitas seringkali menjadi ajang manifestasilelaki, otomotif, dan lain sebagainya. Sedangkan iklan sabun, shampoo, minyak goreng, bumbu dapur, peralatan rumah tangga cukup mendapatkan respek dari para perempuan yang menghubungkan kebutuhannya sebagai ibu rumah tangga, bukan merupakan suatu bentuk eksploitasi tapi merupakan suatu penggambaran keindahan kodrat perempuan dalam proses visualisasi iklan semata-mata dijadikan referensi penciptaan citra idealisasi hubungan sosial. Secara general perempuan memang masih belum bisa dipisahkan dari wilayah domestik, dan bagi sebagian orang posisi ini masih dianggap sebagai peran yang belum dapat digantikan oleh jenis kelamin lain. Sehingga perempuan dalam hal ini mengalami marginalisasi dari arena yang lebih luas yakni wilayah publik. Perempuan cenderung terdomestikasi, yakni sebagai subyek gender yang mempunyai tanggung jawab serta
peranan besar dalam pengelolaan rumah tangga. Jika hal ini dihadapkan pada konsep
gender secara universal, memang terdapat ketimpangan peran, di mana perempuan lebih dipercaya dalam kepengurusan rumah tangga, sedangkan laki-laki tidak terlalu dituntut untuk ikut mengurusi peran domestik ini. Meskipun terdapat penanaman ideologi yang dimaksudkan mengangkat citra perempuan seperti halnya ideologi atau pandangan bahwa perempuan yang mulia dan berbudi luhur secara kultural adalah perempuan yang berfungsi sebagai istri dan ibu rumah tangga, pada satu sisi dimaksudkan untuk menyatakan bahwa pengelolaan rumah tangga merupakan peran yang mulia serta ideal jika difungsikan oleh perempuan, tetapi di sisi lain perempuan dapat dikatakan mengalami pengucilan (exclusion) dari wilayah publik, sedangkan laki-laki meskipun tidak terlalu mengurusi persoalan domestik masih disebut sebagai kepala rumah tangga. Kendatipun demikian, adanya ideologi familialisme yang mendudukkan perem-puan berfungsi sebagai istri dan ibu rumah tangga tampaknya tidak beranjak dari pandangan sebagian besar perempuan pada umumnya. Citra konvensional ini masih menjadi tata nilai yang cukup kuat diinternalisasi oleh kaum perempuan itu sendiri. Adanya pergeseran peran bisa jadi malah dianggap akan membawa gesekan atau konflik kepentingan dalam menjalankan fungsi gender. Sehingga untuk membuka cakrawala bahwa perempuan hendaknya diakui pula dalam  arena publik mungkin perlu pula dipahami bagaimana eksistensi peran perempuan dari arena domestik.
 
Realitas sosial ini pada dasarnya memang telah mengalami rekonstruksi dan redefinisi dalam melihat keberadaan perempuan dalam fungsi gendernya. Perempuan secara kuantitas memang sudah berperan dalam arena publik, akan tetapi pada kenyataannya secara kualitatif masih banyak yang belum menempatkan diri pada posisi strategis dalam jabatan publik. Secara kualitatif pula perempuan masih terkonstruksi untuk terus berperan dalam wilayah domestik, mulai dari fungsi lanjut reproduksi, kepengasuhan anak sampai pengelolaan rumah tangga, sehingga ini pun dapat dijadikan salah satu faktor mengapa perempuan kurang diakui untuk menempati posisi penting dalam wilayah publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar