Kamis, 22 November 2012

Sebuah renungan anak bangsa


Aku dan Duniaku
By : Witma Supriyajana

Aku bukanlah sekuntum bunga mawar di antara bunga-bunga indah lainnya. Aku juga bukan sepintal benang sutera yang halus di antara benang-benang lainnya. Tapi aku adalah sehelai awan di kala senja..Begitulah sedikit definisi ku  tentang diriku. Aku adalah satu di antara ribuan orang di dunia yang menghujat takdir yang di rasa tak adil. Bukan ku tak pernah bersyukur, bukan ku tak pernah menikmati indahnya hidupku, tapi justru ku lebih jauh menikmati hidupku daripada oranglain yang menyepelekan hidupnya. Ku nikmati setiap teriakan hatiku yang ingin menghujat betapa hidup kadang bagiku tak adil. Andai ada kotak keluhan kepada Tuhan mungkin aku akan membutuhkan puluhan ratusan bahkan ribuan kertas untuk menuliskan keluh kesahku yang mungkin tak akan habis ku tulis dalam waktu tujuh hari tujuh malam..

Lepas dari itu semua aku hanya ingin Takdirku berubah jika aku berusaha seperti janji Tuhan dalam Kitab Suci nya.

Ku terlahir dari keluarga biasa tapi luar biasa bagi ku, dari keluargaku, aku belajar bagaimana membedakan antara ego, ambisi, amarah, pengabdian, kesabaran, tanggungjawab dan dari keluarga aku belajar mengeluh. Terlalu konyol aku ceritakan jika ku belajar mengeluh dari keluargaku, seperti cara keluargaku dan aku menikmati hidup. Sebagai manusia ku tak terlalu mengharapkan suatu kesempurnaan dalam hidupku karena ku sadar kesempurnaan hanya milik Nya, Tapi ku hanya berharap sedikit kebebasan hidup tanpa keluhan.

Dari sini ku mengawali hidup ku tanpa keluhan..
Ketika ku berjalan menyusuri kota Surabaya yang panas bercucuran peluhku seakan-akan ku mandikan diriku dengan peluh. Aku belajar bagaimana cara menikmati hidupku, aku selalu memperhatikan bagaimana hidup orang-orang di sekitarku agar aku tahu hakikat kehidupan yang sesungguhnya.
Betapa mirisnya ketika kulihat beberapa anak kecil di jam-jam sekolah yang seharusnya mereka duduk manis mendengarkan sang guru berbagi ilmu kepada mereka, tertawa berkejar-kejaran di kala istirahat tiba, bersorak ria ketika bel pelajaran berbunyi tapi yang ku lihat kini anak-anak kecil itu mengemis dengan sedikit memaksa mengatakan padaku “untuk makan mbak”, Kenapa mereka yang masih terlalu dini untuk  di pekerjakan malah mencari uang untuk makan, dimana orang tua mereka? dimana tangung jawab orang tua mereka sebelum orang tuanya melahirkan mereka di dunia? Aku sadar hidup itu penuh tuntutan tapi setidaknya sebelum berencana memiliki anak tanamkan dulu komitmen-komitmen  kedepan, bukankah zaman sekarang sedang sibuk di gembor-gemborkan undang-undang perlindungan anak meskipun ternyata benar aplikasi dalam hidup itu lebih sulit di banding merangkai hitam di atas putih. Bagi orang-orang atas Sepertinya lebih asyik mengurusi kasus wisma atlet yang di gelapkan oleh wakil rakyat, di banding mengurusi anak-anak orang lain yang di pekerjakan usia dini. Mungkin sedikit wakil rakyat yang berhati peka.

Kembali lagi ku lanjutkan perjalanan ku menyusuri kota, kali ini yang kulihat bukan  anak-anak kecil yang mengemis di jam sekolah tapi ku mulai mengagumi mobil-mobil mewah di sepanjang jalan yang ku lewati, aku mengaguminya bukan dari segi konsumtif karena aku ingin memilikinya, tapi yang ku kagumi dari sepanjang perjalananku aku takjub dan terpana melihat orang-orang yang menaiki mobil-mobil mewah itu tak ada satupun orang pribumi asli. Lebih takjub lagi ketika hujan turun mobil-mobil mewah itu dengan manisnya menyembur genangan air pada orang-orang bersepeda motor di sebelahnya dengan ban mulusnya tanpa rasa iba.

Di perjalanku ini ku mulai merasakan penat nya otak ku terlalu banyak berfikir.Aku pun terduduk lesu di bangku di antara jajaran pertokoan yang ramai orang berlalu lalang.
Pikiranku mulai nakal mengamati orang-orang di sekitarku lepas dari anak-anak kecil dan mobil-mobil mewah. Perihnya hati ku ketika ku melihat lagi-lagi pertokoan itu tak ada satupun orang pribumi yang memilikinya, dan orang pribumi hanya di pekerjakan atau bahkan hanya menjadi tukang parkir sukarela. Menjadi perenungan besar bagi ku kenapa orang Indonesia asli menjadi budak di negaranya sendiri. Entah karena tidak peka terhadap terhadap peluang, entah terlalu malas berfikir membangun usaha sendiri atau mungkin banyak pertimbangan lain.

Dengan lemah ku kembali berjalan dan ku terhenti ketika ku lihat di media terjadi tawuran antar mahasiswa di salah satu universitas alasanya pun sangat patriotik untuk membela mahasiswi jurusan A,di ganggu mahasiswa jurusan B.Terlalu menyakitkan untuk menerima alasan itu. Para akademisi yang seharusnya merenung untuk perbaikan kehidupan dan berjuang untuk menyelamatkan diri berfikir agar tidak jadi budak di Negara sendiri sekarang begitu mengenaskan jika mereka tawuran untuk hal sepele. Berganti ku baca pada halaman depan Koran ibukota membicarakan kasus teknologi yang pada awalnya di harapkan untuk memajukan generasi penerus bangsa justru berbalik menjadi boomerang dan menjadi momok menyeramkan bagi para orang tua. Ku hanya bisa mengelus dada merasakan betapa sesaknya hidup. Kembali ku ingat sepenggal Serat Kalatidha milik Pujangga jawa Rongowarsito Amenangi jaman edan, Ewuh aya ing pambudi, Milu edan nora tahan, Yen tan milu anglakoni, Boya kaduman melik, Kaliren wekasanipun, Ndilalah karsa Allah, Begja-begjane kang lali, Luwih begja kang eling lawan waspada
“Hidup didalam jaman edan, memang repot. Akan mengikuti tidak sampai hati, tetapi kalau tidak mengikuti geraknya jaman tidak mendapat apapun juga. Akhirnya dapat menderita kelaparan. Namun sudah menjadi kehendak Tuhan. Bagaimanapun juga walaupun orang yang lupa itu bahagia namun masih lebih bahagia lagi orang yang senantiasa ingat dan waspada”
Terlalu indah jika ku pahami sepenggal serat milik Ronggowarsito,Seperti indahnya sejauh mata dan fikirku menilai hari ini.

Aku mulai bersyukur dan mengurangi porsi mengeluhku,meski kadang hidup itu menyakitkan, meski ku tahu menangis itu gratis tapi ku pahami jika hidup adalah pembelajaran. Aku tak pernah malu bermimpi yang muluk-muluk meskipun kadang bermimpi menimbulkan sakit jika terjatuh tapi ku ingin menjadikan hidupku tanpa keluhan, sesakit apapun yang aku alami nantinya. Meskipun aku hanyalah sehelai awan di kala senja aku tahu jika Tuhan akan menertawakanku jika aku hanya bisa menghujatnya setiap hari dan bermimpi akan ada kotak keluhan untuk Tuhan..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar