Aku dan
Duniaku
By :
Witma Supriyajana
Aku bukanlah
sekuntum bunga mawar di antara bunga-bunga indah lainnya. Aku juga bukan
sepintal benang sutera yang halus di antara benang-benang lainnya. Tapi aku
adalah sehelai awan di kala senja..Begitulah sedikit definisi ku tentang diriku. Aku adalah satu di antara
ribuan orang di dunia yang menghujat takdir yang di rasa tak adil. Bukan ku tak
pernah bersyukur, bukan ku tak pernah menikmati indahnya hidupku, tapi justru
ku lebih jauh menikmati hidupku daripada oranglain yang menyepelekan hidupnya. Ku
nikmati setiap teriakan hatiku yang ingin menghujat betapa hidup kadang bagiku
tak adil. Andai ada kotak keluhan kepada Tuhan mungkin aku akan membutuhkan puluhan
ratusan bahkan ribuan kertas untuk menuliskan keluh kesahku yang mungkin tak
akan habis ku tulis dalam waktu tujuh hari tujuh malam..
Lepas dari itu
semua aku hanya ingin Takdirku berubah jika aku berusaha seperti janji Tuhan
dalam Kitab Suci nya.
Ku terlahir dari
keluarga biasa tapi luar biasa bagi ku, dari keluargaku, aku belajar bagaimana
membedakan antara ego, ambisi, amarah, pengabdian, kesabaran, tanggungjawab dan
dari keluarga aku belajar mengeluh. Terlalu konyol aku ceritakan jika ku
belajar mengeluh dari keluargaku, seperti cara keluargaku dan aku menikmati
hidup. Sebagai manusia ku tak terlalu mengharapkan suatu kesempurnaan dalam
hidupku karena ku sadar kesempurnaan hanya milik Nya, Tapi ku hanya berharap
sedikit kebebasan hidup tanpa keluhan.
Dari sini ku mengawali
hidup ku tanpa keluhan..
Ketika ku
berjalan menyusuri kota Surabaya yang panas bercucuran peluhku seakan-akan ku mandikan
diriku dengan peluh. Aku belajar bagaimana cara menikmati hidupku, aku selalu
memperhatikan bagaimana hidup orang-orang di sekitarku agar aku tahu hakikat
kehidupan yang sesungguhnya.
Betapa mirisnya
ketika kulihat beberapa anak kecil di jam-jam sekolah yang seharusnya mereka
duduk manis mendengarkan sang guru berbagi ilmu kepada mereka, tertawa
berkejar-kejaran di kala istirahat tiba, bersorak ria ketika bel pelajaran
berbunyi tapi yang ku lihat kini anak-anak kecil itu mengemis dengan sedikit
memaksa mengatakan padaku “untuk makan mbak”, Kenapa mereka yang masih terlalu
dini untuk di pekerjakan malah mencari
uang untuk makan, dimana orang tua mereka? dimana tangung jawab orang tua
mereka sebelum orang tuanya melahirkan mereka di dunia? Aku sadar hidup itu penuh
tuntutan tapi setidaknya sebelum berencana memiliki anak tanamkan dulu
komitmen-komitmen kedepan, bukankah
zaman sekarang sedang sibuk di gembor-gemborkan undang-undang perlindungan anak
meskipun ternyata benar aplikasi dalam hidup itu lebih sulit di banding
merangkai hitam di atas putih. Bagi orang-orang atas Sepertinya lebih asyik
mengurusi kasus wisma atlet yang di gelapkan oleh wakil rakyat,
di banding mengurusi anak-anak orang lain yang di pekerjakan usia dini. Mungkin
sedikit wakil rakyat yang berhati peka.
Kembali lagi ku
lanjutkan perjalanan ku menyusuri kota, kali ini yang kulihat bukan anak-anak kecil yang mengemis di jam sekolah
tapi ku mulai mengagumi mobil-mobil mewah di sepanjang jalan yang ku lewati, aku
mengaguminya bukan dari segi konsumtif karena aku ingin memilikinya, tapi yang
ku kagumi dari sepanjang perjalananku aku takjub dan terpana melihat
orang-orang yang menaiki mobil-mobil mewah itu tak ada satupun orang pribumi
asli. Lebih takjub lagi ketika hujan turun mobil-mobil mewah itu dengan
manisnya menyembur genangan air pada orang-orang bersepeda motor di sebelahnya
dengan ban mulusnya tanpa rasa iba.
Di perjalanku
ini ku mulai merasakan penat nya otak ku terlalu banyak berfikir.Aku pun
terduduk lesu di bangku di antara jajaran pertokoan yang ramai orang berlalu
lalang.
Pikiranku mulai
nakal mengamati orang-orang di sekitarku lepas dari anak-anak kecil dan mobil-mobil
mewah. Perihnya hati ku ketika ku melihat lagi-lagi pertokoan itu tak ada
satupun orang pribumi yang memilikinya, dan orang pribumi hanya di pekerjakan
atau bahkan hanya menjadi tukang parkir sukarela. Menjadi perenungan besar bagi
ku kenapa orang Indonesia asli menjadi budak di negaranya sendiri. Entah karena
tidak peka terhadap terhadap peluang, entah terlalu malas berfikir membangun
usaha sendiri atau mungkin banyak pertimbangan lain.
Dengan
lemah ku kembali berjalan dan ku terhenti ketika ku lihat di media terjadi
tawuran antar mahasiswa di salah satu universitas alasanya pun sangat patriotik
untuk membela mahasiswi jurusan A,di ganggu mahasiswa jurusan B.Terlalu
menyakitkan untuk menerima alasan itu. Para akademisi yang seharusnya merenung
untuk perbaikan kehidupan dan berjuang untuk menyelamatkan diri berfikir agar
tidak jadi budak di Negara sendiri sekarang begitu mengenaskan jika mereka
tawuran untuk hal sepele. Berganti ku baca pada halaman depan Koran ibukota
membicarakan kasus teknologi yang pada awalnya di harapkan untuk memajukan
generasi penerus bangsa justru berbalik menjadi boomerang dan menjadi momok
menyeramkan bagi para orang tua. Ku hanya bisa mengelus dada merasakan betapa
sesaknya hidup. Kembali ku ingat sepenggal Serat Kalatidha milik Pujangga jawa
Rongowarsito Amenangi
jaman edan, Ewuh aya ing pambudi, Milu edan nora tahan, Yen tan milu anglakoni,
Boya kaduman melik, Kaliren wekasanipun, Ndilalah karsa Allah, Begja-begjane
kang lali, Luwih begja kang eling lawan waspada
“Hidup didalam jaman edan, memang repot. Akan mengikuti
tidak sampai hati, tetapi kalau tidak mengikuti geraknya jaman tidak mendapat
apapun juga. Akhirnya dapat menderita kelaparan. Namun sudah menjadi kehendak
Tuhan. Bagaimanapun juga walaupun orang yang lupa itu bahagia namun masih lebih
bahagia lagi orang yang senantiasa ingat dan waspada”
Terlalu indah jika ku pahami sepenggal serat milik
Ronggowarsito,Seperti indahnya sejauh mata dan fikirku menilai hari ini.
Aku mulai bersyukur dan mengurangi porsi mengeluhku,meski
kadang hidup itu menyakitkan, meski ku tahu menangis itu gratis tapi ku pahami jika
hidup adalah pembelajaran. Aku tak pernah malu bermimpi yang muluk-muluk
meskipun kadang bermimpi menimbulkan sakit jika terjatuh tapi ku ingin
menjadikan hidupku tanpa keluhan, sesakit apapun yang aku alami nantinya. Meskipun
aku hanyalah sehelai awan di kala senja aku tahu jika Tuhan akan menertawakanku
jika aku hanya bisa menghujatnya setiap hari dan bermimpi akan ada kotak
keluhan untuk Tuhan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar