Kamis, 22 November 2012

Trikotomi Masyarakat Jawa dan Identitas Priyayi





TRIKOTOMI MASYARAKAT JAWA DAN IDENTITAS PRIYAYI
DALAM


By : Witma Supriyajana


Clifford Geertz, di dalam buku Religion of Java, membagi masyarakat Jawa menjadi tiga kelas kelas pertama adalah kelas priyayi, Kelas yang berada di tengah adalah kelas santri, sedangkan kelas paling bawah disebut kelas abangan. Menurut Umar Kayam,  masyarakat Jawa merupakan sebuah hasil peradaban yang sangat kompleks, di mana pembagian yang sangat kaku, seperti pada sistem kasta, tidak dapat menjelaskan identitas masyarakat Jawa secara akurat. Memang, sistem trikotomi yang sangat kaku tersebut sungguh ada, tetapi dalam beberapa kasus, sistem tersebut dapat menjadi fleksibel. Kelompok sosial yang terpisah satu sama lain nampaknya tidak memungkinkan untuk menjalin hubungan yang erat antar status. Para priyayi di satu sisi selalu dianggap sebagai penguasa, sedangkan abangan atau wong cilik hanya menjadi pekerja kasar. Hal tersebut memperlebar jarak dan juga memberikan batas antara kedua kaum tersebut. Umar Kayam dalam novel Para Priyayi justru memutar balikkan situasi tersebut menjadi suatu hubungan timbal balik antara kaum priyayi dan wong cilik dan mendobrak pembatas antar mereka. Priyayi tidak lagi digambarkan sebagai kaum yang individualistis tetapi bersimpati pada wong cilik.
Umar Kayam di dalam Para Priyayi, menggambarkan kelas-kelas tersebut bukan sebagai suatu hal yang mengikat, bahkan batasan-batasan yang terdapat di antara ketiga kelas sosial tersebut digambarkan sebagai sesuatu yang bersifat kabur. Karakter Sastrodarsono diceritakan mempunyai latar belakang seorang petani, seorang abangan. Kakeknya, ayahnya, dan saudara-saudaranya hanyalah petani-petani kecil. Sastrodarsono sendiri menjadi priyayi setelah ia menamatkan pendidikannya, dan menjadi guru bantu di sebuah kota kecil. Ia bukanlah keturunan priyayi, dan ia belum memiliki prestasi apapun untuk mendapatkan gelar priyayi, tetapi ia sudah dianggap sebagai seorang priyayi.
           
Pemikiran untuk membangun kaum wong cilik dalam diri Sastrodarsono didasari oleh tokoh Mas Martoatmodjo yang beranggapan bahwa priyayi seharusnya memajukan masyarakat, “bukan priyayi yang di kemudian hari kepingin jadi raja kecil yang sewenang-wenang terhadap wong cilik.” Mas Martoatmodjo selalu mengikuti perkembangan gerakan priyayi dengan membaca Medan Priyayi, mingguan yang memuat artikel-artikel perlawanan terhadap kolonialisme, seperti Multatuli, dan kritikan bagi pejabat yang korup. Banyak priyayi yang tidak berani mengikuti jejak Mas Martoatmodjo karena takut kehilangan status dan kemapanan
.“Mereka takut dengan bacaan seperti ini. Mereka takut kehilangan pekerjaan mereka”(hal 57). Kemunculan pemikiran ini adalah suatu bentuk reformasi idealisme priyayi yang terkesan pasif dan individualities menjadi dinamis.
 Lantip adalah gambaran Umar Kayam akan priyayi sejati. Lantip menggambarkan seorang priyayi sebagai seorang yang memiliki semangat “pengabdian kepada masyarakat banyak, terutama kepada wong cilik, tanpa pamrih kecuali berhasilnya pengabdian itu sendiri” dan “warna semangat kerakyatan”(hal 306). Pentingnya intelektualitas semakin disadari oleh kaum wong cilik karena dengannya mereka mendapat kesempatan untuk menjadi priyayi, dengan bantuan kaum priyayi. “Jangan hanya puas jadi petani, Le. Kalian harus menjadi priyayi.”(hal 30) Status priyayi berarti kehormatan, pangkat dan kemapanan hidup secara ekonomi. Menjadi priyayi adalah impian hidup keluarga Atmokasan, namun untuk mencapai tujuan itu pendidikan menjadi modal dasar. “Kalian harus sekolah”(hal 30). Dengan memiliki pendidikan mereka akan diperhatikan oleh pemerintah dan dapat menduduki suatu jabatan. Ndoro Seten berperan dalam proses ini sebagai pembuka jalan, Sastrodarsono dicarikan jalan lewat Ndoro Wedono dan para Priyagung di Madiun untuk dapat diterima magang menjadi guru bantu.”(hal 31) Sastrodarsono melakukan proses yang sama dengan mengangkat Lantip untuk menjadi priyayi .
Tokoh Lantip sendiri cukup sulit untuk dikategorikan ke dalam kelas-kelas dalam trikotomi masyarakat Jawa. Ia memiliki pengertian yang sangat baik akan kehidupan priyayi, dan ia bersikap bagaikan seorang priyayi. Apalagi, ia juga berpendidikan. Tetapi, ia bukanlah keturunan priyayi, malahan ia adalah anak haram dari kaum abangan Umar Kayam berpikiran bahwa hal etiket bahasa yang sangat mengikat dan kaku seperti itu tidaklah sepenuhnya benar. Sekali lagi, terdapat beberapa pengecualian. Lewat karakter ayah Sastrodarsono, Umar Kayam kembali memberikan tambahan pada teori Geertz. Ayah Sastrodarsono, yang hanya seorang petani desa, dapat berbahasa menggunakan dialek krama inggil, dialek para priyayi dan kaum intelek. Ia menggunakan krama inggil saat berbicara dengan Ndoro Seten. Hal yang sebaliknya terjadi pada Sastrodarsono, yang diceritakan sering meluapkan emosinya ketika kalah di meja kesukan. “Bedes, monyet, goblok anak kecu, gerombolan maling……”(hal10) umpatnya. Ini bukanlah hal yang pantas dilakukan oleh seorang priyayi, tetapi di sini Umar Kayam menekankan bahwa priyayi, seperti halnya kaum santri dan abangan, jugalah manusia. Di dalam Para Priyayi, para priyayi merupakan orang-orang yang mendukung dan memperjuangkan hak-hak wong cilik, orang-orang dari kelas bawah. Hal ini pertama kali ditunjukkan oleh Ndoro Seten, yang membantu Sastrodarsono dalam meraih impiannya menjadi seorang priyayi. Ndoro Seten juga mengatakan bahwa dirinya ingin “..membangun barisan priyayi maju, bukan priyayi yang di kemudian hari kepingin jadi raja kecil yang sewenang-wenang terhadap wong cilik”(hal 63). Sastrodarsono pun terlihat mendukung hal ini dengan membangun sebuah sekolah kecil di Wanalawas, sekolah yang diperuntukkan bagi wong cilik. Harimurti, anak Hardojo, juga bergabung dengan Lekra, sebuah organisasi berideologi komunis, dengan tujuan memperjuangkan hak-hak wong cilik. Bahkan, Lantip, di dalam pidatonya mengajak hadirinnya untuk “menanam semangat priyayi sebagai semangat pengabdian kepada masyarakat wong cilik”(hal 306) Konflik dengan para santri pun dilengkapi oleh Umar Kayam dengan menciptakan tokoh Sri dan Darmin. Mereka adalah keponakan Sastrodarsono yang datang dari kaum santri. Bila memang terdapat konflik ideologi yang sangat intens di antara para priyayi dan para santri, tampaknya tidak mungkin Sri dan Darmin dititipkan pada sebuah keluarga priyayi.
           
Salah satu hal yang membedakan para priyayi dari orang biasa adalah etika. Etika memberi para priyayi aturan dalam bertingkah. Melalui ketentuan-ketentuan tersebut, sang priyayi diharapkan dapat bertingkah laku lepas dari emosinya. Meski terkesan kaku, namun  kesopan-santunan mereka datang dari roso, rasa. Etika sopan santun priyayi dalam bertutur dapat dirangkum menjadi empat prinsip utama. Pertama, bahasa dan tingkah laku harus sesuai dengan kelas mereka. Saat dua priyayi, walaupun belum saling kenal, bertemu, mereka harusmenggunakan bahasa Jawa alus, dan harus saling merendahkan diri. Cara berpakaianpun harus sesuai. Kedua, dalam  penyampaian pesan, hendaknya didahului dengan basa basi. Saat hendak menyampaikan pesan yang negatif, para priyayi pada umumnya menggunakan perumpamaan sehingga lawan bicara dapat menangkap inti pesannya tanpa harus merasa tersinggung. Prinsip ketiga dikenal oleh orang Jawa sebagai étok-étok, yaitu sikap berpura-pura. Hal tersebut biasa digunakan priyayi dalam situasi di mana mereka menyembunyikan keinginan pribadi mereka demi keinginan orang lain. Prinsip yang keempat adalah mereka harus dapat mengendalikan emosi dalam bertingkah laku.
           
Para Priyayi sangat memperhatikan etika dalam berbahasa. Bahasa Jawa sendiri dapat dibagi menjadi tiga tingkatan dasar, yaitu krama, madya, dan ngoko.. Kelas sosial menentukan gaya bahasa dan dialek. Status juga sangat mempengaruhi pemilihan dialek dalam sebuah percakapan. Sebagai contoh dalam novel para priyayi, saat seorang juragan berbicara dengan kusirnya, dialek yang digunakan adalah ngoko biasa“Aja ngantuk, lho!”(hal 207) , sedangkan kusirnya tersebut akan berbicara dengan menggunakan karma inggil,”Mboten,kok,Ndoro,”(hal 207).
           
            Novel Para Priyayi yang dikarang oleh Umar Kayam di New Haven pada tahun 1991, selain sebagai sebuah karya sastra, juga berperan sebagai sebuah “ensiklopedi” yang menyoroti kehidupan kaum birokrat atau aristokrat Jawa, para priyayi. “(Novel) Para Priyayi adalah jihad intelektual Umar Kayam tentang seseorang dalam menjalani fungsi kemanusiaannya, yang mula-mula adalah (seorang) Jawa.” Melalui novel ini Umar Kayam sebagai penulis ingin menyampaikan idealismenya mengenai kepriyayian, karena selama ini stereotip priyayi selalu erat dengan orang-orang birokrat yang menggunakan statusnya untuk menguasai orang lain, berjiwa anti-sosial dan arogan.


Daftar Pustaka

Kayam, Umar. Para Priyayi: Sebuah Novel. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992.

Http//Geertz, Clifford. The Religion of Java. yang diakses pada 25 Oktober 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar