TRIKOTOMI MASYARAKAT JAWA DAN
IDENTITAS PRIYAYI
DALAM
By : Witma Supriyajana
Clifford Geertz, di dalam buku Religion of Java, membagi masyarakat
Jawa menjadi tiga kelas kelas pertama adalah kelas priyayi, Kelas yang
berada di tengah adalah kelas santri,
sedangkan kelas paling bawah disebut kelas abangan.
Menurut Umar Kayam, masyarakat Jawa
merupakan sebuah hasil peradaban yang sangat kompleks, di mana pembagian yang
sangat kaku, seperti pada sistem kasta, tidak dapat menjelaskan identitas
masyarakat Jawa secara akurat. Memang, sistem trikotomi yang sangat kaku
tersebut sungguh ada, tetapi dalam beberapa kasus, sistem tersebut dapat
menjadi fleksibel. Kelompok
sosial yang terpisah satu sama lain nampaknya tidak memungkinkan untuk menjalin
hubungan yang erat antar status. Para priyayi di satu sisi selalu dianggap sebagai penguasa, sedangkan abangan
atau wong cilik hanya
menjadi pekerja kasar. Hal tersebut memperlebar jarak dan juga
memberikan batas antara kedua kaum tersebut. Umar Kayam dalam novel Para Priyayi justru memutar balikkan situasi tersebut menjadi suatu
hubungan timbal balik antara kaum priyayi dan wong cilik dan mendobrak pembatas antar mereka. Priyayi tidak lagi
digambarkan sebagai kaum yang individualistis tetapi bersimpati pada wong cilik.
Umar Kayam di dalam Para Priyayi, menggambarkan kelas-kelas tersebut bukan sebagai
suatu hal yang mengikat, bahkan batasan-batasan yang terdapat di antara ketiga
kelas sosial tersebut digambarkan sebagai sesuatu yang bersifat kabur. Karakter
Sastrodarsono diceritakan mempunyai latar belakang seorang petani, seorang abangan. Kakeknya, ayahnya, dan
saudara-saudaranya hanyalah petani-petani kecil. Sastrodarsono sendiri menjadi
priyayi setelah ia menamatkan pendidikannya, dan menjadi guru bantu di sebuah
kota kecil. Ia bukanlah keturunan priyayi, dan ia belum memiliki prestasi
apapun untuk mendapatkan gelar priyayi, tetapi ia sudah dianggap sebagai
seorang priyayi.
Pemikiran untuk membangun kaum wong cilik dalam diri
Sastrodarsono didasari oleh tokoh
Mas Martoatmodjo yang beranggapan bahwa priyayi seharusnya memajukan masyarakat, “bukan priyayi yang di kemudian hari kepingin jadi raja kecil yang
sewenang-wenang terhadap wong cilik.”
Mas Martoatmodjo selalu mengikuti perkembangan gerakan priyayi dengan membaca
Medan Priyayi, mingguan yang memuat artikel-artikel perlawanan terhadap
kolonialisme, seperti Multatuli, dan kritikan bagi pejabat yang korup. Banyak
priyayi yang tidak berani mengikuti jejak Mas Martoatmodjo karena takut
kehilangan status dan kemapanan
.“Mereka
takut dengan bacaan seperti ini. Mereka takut kehilangan pekerjaan mereka”(hal
57). Kemunculan pemikiran ini adalah suatu bentuk
reformasi idealisme priyayi yang terkesan pasif dan individualities
menjadi dinamis.
Lantip adalah gambaran Umar Kayam akan priyayi
sejati. Lantip menggambarkan seorang priyayi sebagai seorang yang memiliki
semangat “pengabdian kepada masyarakat
banyak, terutama kepada wong cilik, tanpa pamrih kecuali berhasilnya pengabdian
itu sendiri” dan “warna semangat kerakyatan”(hal 306). Pentingnya
intelektualitas
semakin disadari oleh kaum wong cilik
karena dengannya mereka mendapat kesempatan untuk menjadi priyayi,
dengan bantuan kaum priyayi. “Jangan hanya puas jadi petani, Le. Kalian
harus menjadi priyayi.”(hal
30) Status priyayi berarti
kehormatan, pangkat dan kemapanan hidup secara ekonomi. Menjadi priyayi adalah
impian hidup keluarga Atmokasan, namun untuk mencapai tujuan itu
pendidikan menjadi modal dasar. “Kalian harus sekolah”(hal 30). Dengan memiliki pendidikan mereka akan diperhatikan oleh pemerintah dan dapat menduduki suatu jabatan. Ndoro Seten berperan dalam proses ini sebagai pembuka jalan, Sastrodarsono “… dicarikan jalan lewat Ndoro Wedono dan para Priyagung di Madiun untuk dapat diterima magang menjadi guru
bantu.”(hal 31) Sastrodarsono melakukan proses yang sama dengan
mengangkat Lantip untuk menjadi priyayi .
Tokoh Lantip sendiri cukup sulit untuk
dikategorikan ke dalam kelas-kelas dalam trikotomi masyarakat Jawa. Ia memiliki
pengertian yang sangat baik akan kehidupan priyayi, dan ia bersikap bagaikan
seorang priyayi. Apalagi, ia juga berpendidikan. Tetapi, ia bukanlah keturunan
priyayi, malahan ia adalah anak haram dari kaum abangan Umar Kayam berpikiran
bahwa hal etiket bahasa yang sangat mengikat dan kaku seperti itu tidaklah
sepenuhnya benar. Sekali lagi, terdapat beberapa pengecualian. Lewat karakter
ayah Sastrodarsono, Umar Kayam kembali memberikan tambahan pada teori Geertz.
Ayah Sastrodarsono, yang hanya seorang petani desa, dapat berbahasa menggunakan
dialek krama inggil, dialek para
priyayi dan kaum intelek. Ia menggunakan krama
inggil saat berbicara dengan Ndoro
Seten. Hal yang sebaliknya terjadi pada Sastrodarsono, yang diceritakan sering
meluapkan emosinya ketika kalah di meja kesukan.
“Bedes, monyet, goblok anak kecu,
gerombolan maling……”(hal10) umpatnya. Ini bukanlah hal yang pantas
dilakukan oleh seorang priyayi, tetapi di sini Umar Kayam menekankan bahwa
priyayi, seperti halnya kaum santri dan abangan, jugalah manusia. Di dalam Para Priyayi, para priyayi merupakan
orang-orang yang mendukung dan memperjuangkan hak-hak wong cilik, orang-orang dari kelas bawah. Hal ini pertama kali
ditunjukkan oleh Ndoro Seten, yang
membantu Sastrodarsono dalam meraih impiannya menjadi seorang priyayi. Ndoro
Seten juga mengatakan bahwa dirinya ingin “..membangun barisan priyayi maju, bukan priyayi yang di kemudian hari
kepingin jadi raja kecil yang sewenang-wenang terhadap wong cilik”(hal 63). Sastrodarsono pun terlihat mendukung hal ini
dengan membangun sebuah sekolah kecil di Wanalawas, sekolah yang diperuntukkan
bagi wong cilik. Harimurti, anak
Hardojo, juga bergabung dengan Lekra, sebuah organisasi berideologi komunis,
dengan tujuan memperjuangkan hak-hak wong
cilik. Bahkan, Lantip, di dalam pidatonya mengajak hadirinnya untuk “menanam semangat priyayi sebagai semangat pengabdian
kepada masyarakat wong cilik”(hal
306) Konflik dengan para santri pun dilengkapi oleh Umar Kayam
dengan menciptakan tokoh Sri dan Darmin. Mereka adalah keponakan Sastrodarsono
yang datang dari kaum santri. Bila
memang terdapat konflik ideologi yang sangat intens di antara para priyayi dan para santri, tampaknya tidak mungkin Sri dan Darmin dititipkan pada
sebuah keluarga priyayi.
Salah satu hal yang membedakan para
priyayi dari orang biasa adalah etika. Etika memberi para priyayi aturan dalam
bertingkah. Melalui ketentuan-ketentuan tersebut, sang priyayi diharapkan dapat
bertingkah laku lepas dari emosinya. Meski terkesan kaku, namun kesopan-santunan mereka datang dari roso, rasa. Etika sopan santun priyayi
dalam bertutur dapat dirangkum menjadi empat prinsip utama. Pertama, bahasa dan
tingkah laku harus sesuai dengan kelas mereka. Saat dua priyayi, walaupun belum
saling kenal, bertemu, mereka harusmenggunakan bahasa Jawa alus, dan harus saling merendahkan diri. Cara berpakaianpun harus
sesuai. Kedua, dalam penyampaian pesan,
hendaknya didahului dengan basa basi. Saat hendak menyampaikan pesan yang
negatif, para priyayi pada umumnya menggunakan perumpamaan sehingga lawan
bicara dapat menangkap inti pesannya tanpa harus merasa tersinggung. Prinsip
ketiga dikenal oleh orang Jawa sebagai étok-étok,
yaitu sikap berpura-pura. Hal tersebut biasa digunakan priyayi dalam situasi di
mana mereka menyembunyikan keinginan pribadi mereka demi keinginan orang lain.
Prinsip yang keempat adalah mereka harus dapat mengendalikan emosi dalam
bertingkah laku.
Para Priyayi sangat memperhatikan etika
dalam berbahasa. Bahasa Jawa sendiri dapat dibagi menjadi tiga tingkatan dasar,
yaitu krama, madya, dan ngoko..
Kelas sosial menentukan gaya bahasa
dan dialek. Status juga
sangat mempengaruhi pemilihan dialek dalam sebuah percakapan. Sebagai contoh
dalam novel para priyayi, saat
seorang juragan berbicara
dengan kusirnya, dialek yang
digunakan adalah ngoko biasa“Aja
ngantuk, lho!”(hal 207) ,
sedangkan kusirnya tersebut
akan berbicara dengan menggunakan karma inggil,”Mboten,kok,Ndoro,”(hal 207).
Novel Para Priyayi yang dikarang
oleh Umar Kayam di New Haven pada tahun 1991, selain sebagai sebuah karya
sastra, juga berperan sebagai sebuah “ensiklopedi” yang menyoroti kehidupan
kaum birokrat atau aristokrat Jawa, para priyayi. “(Novel) Para Priyayi adalah ‘jihad intelektual’ Umar Kayam tentang seseorang dalam
menjalani fungsi kemanusiaannya, yang mula-mula adalah (seorang) Jawa.” Melalui novel ini Umar Kayam
sebagai penulis ingin menyampaikan idealismenya mengenai kepriyayian, karena selama ini
stereotip priyayi
selalu erat dengan orang-orang birokrat yang menggunakan statusnya untuk
menguasai orang lain, berjiwa anti-sosial dan arogan.
Daftar Pustaka
Kayam,
Umar. Para Priyayi: Sebuah Novel. Jakarta : Pustaka Utama
Grafiti, 1992.
Http//Geertz,
Clifford. The Religion of Java. yang
diakses pada 25 Oktober 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar